Rabu, 09 Januari 2008

MALAIKAT DIRI MANUSIA

Malaikat, apa dan bagaimana ?

Istilah Malaikat telah dikenal oleh hampir semua umat beragama didunia ini, istilah tersebut bisa dijumpai didalam banyak ayat pada Kitab-kitab suci yang ada. Katakanlah misalnya seperti Kitab suci agama Budha Kuan Shi Yin Tsing, kitab Perjanjian Lama, kitab Perjanjian Baru maupun kitab suci al-Qur'an.

Paul Claudel[1], seorang sastrawan katolik Perancis menulis : "Menyangkal adanya para malaikat berarti mencabut setiap dua halaman dari alkitab dan juga berarti memusnahkan segala buku doa !" pernyataan ini tidak lain disebabkan lebih dari 700 kali kata Malaikat disebut-sebut dalam al-Kitab. Bahkan adanya malaikat itu telah ditentukan sebagai dogma (ajaran yang harus diimani) oleh Konsili Lateran IV (1215) dan Konsili Vatikanum I (1889-1890) serta Konsili Nicea (787) dan Konsili Trente (1545-1563).[2]

Dalam bahasa Ibrani, kata Mal'Akh mengandung arti pesuruh yang menunjukkan status ataupun fungsi dari makhluk tersebut[3]. Selain itu, didalam ajaran al-Kitab atau The Bible tidak semua malaikat bersifat suci, ada diantara mereka yang justru jatuh dan terjebak dalam dosa serta bisa dihakimi oleh manusia.

Bahkan hamba-hamba Allah di surga, tak dapat dipercayai oleh-Nya. Bahkan pada malaikat-malaikat-Nya didapati-Nya kesalahan dan cela - Perjanjian Lama : Ayub : 4 : 18[4]

Sebab jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka - Perjanjian Baru : II Petrus : 2

Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat

pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar - Perjanjian Baru: Yudas 1: 6

Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat ? Jadi apalagi perkara-perkara biasa dalam hidup kita sehari-hari - Perjanjian Baru: I Korintus 6 : 3

Tentang tugas, jumlah maupun nama-nama dari malaikat, al-Kitab tidak bercerita apapun kepada kita kecuali Mikail yang dinyatakan selaku penghulu semua malaikat[5] dan kelak akan bertempur melawan Iblis[6], malaikat Jibril atau Gabriel sebagai penyampai wahyu[7] dan Abadon yang bertugas mencabut nyawa[8]. Ajaran Kristen juga mengenal keberadaan malaikat pelindung (Guardian Angel) yang diberikan Tuhan kepada tiap-tiap orang dan yang secara istimewa berfungsi melindungi jiwa dan badan manusia selama hidup maupun mati[9]. Bahkan Paus Pius XI dan Paus Yohanes XXIII menekankan agar setiapkali manusia menghadapi kesulitan meminta bantuan kepada sang malaikat pelindung[10].

Pengertian Malaikat sendiri menurut kamus Islam[11] adalah makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya, sesuai dengan hadis yang berasal dari Nabi Muhammad yang disampaikan oleh 'Aisyah, istri beliau.

Malaikat diciptakan dari cahaya, Jin diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan-Nya kepada kalian - Hadis Riwayat Muslim

Mungkin karena adanya kesamaan unsur malaikat dengan unsur Tuhan inilah maka seluruh sifat yang ada pada malaikat menurut ajaran Islam adalah cermin dari sifat-sifat Allah sang Pencipta.

Allah itu cahaya bagi langit dan bumi ...

Cahaya diatas cahaya, Allah memimpin kepada cahaya-Nya

Siapa yang Dia inginkan - Qs. 24 an-nur : 35

Aku bertanya kepada Rasulullah Saw : "Adakah engkau melihat Tuhan?" Beliau menjawab : "Cahaya ! Bagaimana aku bisa melihat-Nya ?" - Hadis Riwayat Muslim dari Abu Zar

Berbeda dengan ajaran al-Kitab tentang malaikat, maka Islam menjelaskan bahwa para malaikat itu senantiasa tunduk dan patuh kepada perintah Allah dan tidak pernah melanggar larangan-Nya.

Sesungguhnya mereka (yaitu para malaikat) yang ada di sisi Tuhanmu tidak ingkar beribadah kepada-Nya dan mereka selalu bertakbir untuk-Nya serta hanya kepada-Nya saja mereka bersujud

- Qs. 7 al-a'raf : 206

Malaikat berbakti dengan memuji Tuhan mereka Dan memintakan ampunan bagi orang-orang yang ada dibumi

- Qs. 42 asy-Syura : 5

Para Malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak punya rasa angkuh untuk mengabdi kepada-Nya dan tidak merasa letih,

mereka selalu bertakbir malam dan siang tiada henti-hentinya.

- Qs. 21 al-anbiyaa : 19 - 20

Ditengah umat Islam beredar sejumlah nama-nama malaikat berikut tugas dan kedudukan mereka. Dja'far Amir[12] misalnya, menyebutkan 9 nama dari malaikat yaitu: Jibril bertugas membawa wahyu kepada para Nabi dan Rasul, Izrail bertugas sebagai pencabut nyawa, Mungkar dan Nakir selaku dua malaikat yang melakukan interogasi terhadap mayat didalam kubur, Israfil berfungsi sebagai peniup sangkakala pada hari kiamat, Mikail bertugas memberikan hujan dan pengatur rezeki, Raqib dan 'Atid selaku dua malaikat pencatat amal manusia, Ridwan sebagai penjaga syurga, Malik sebagai penjaga neraka dan Hamalatul 'Arsy sebagai malaikat yang membawa 'Arsy Tuhan dihari kiamat.[13]

Al-Qur'an sendiri pada dasarnya tidak pernah menjelaskan nama-nama dari para malaikat sebagaimana tersebut diatas termasuk jumlah total dari mereka secara keseluruhan, berhubungan tentang malaikat, Al-Qur'an hanya mengenalkan nama Jibril yang disifatkan sebagai malaikat dengan akal cerdas[14] dan digelari juga sebagai Ruh Suci[15] lalu Malik yang di-indikasikan sebagai nama malaikat penjaga neraka[16] serta Mikail[17] dan Zabaniah[18] yang tidak dijelaskan apa tugas dan fungsinya.

Menyangkut istilah Malik tersebut, Dalimi Lubis[19] berpendapat bahwa nama ini belum bisa dikatakan sebagai nama individu, tetapi mengingat bahwa yang dipanggil Malik itu dalam ayat tersebut merujuk pada malaikat yang ada dan berkuasa dineraka maka lebih tepat jika nama ini merupakan gelar dari tugas malaikat tersebut, yaitu penjaga neraka.

Pendapat Dalimi Lubis ini memang ada benarnya, sebab jika kita kembalikan kata Malik yang ada pada ayat tersebut dengan istilah Maliki yaumiddin pada surah 1 al-Fatihah ayat ke 3 yang artinya Penguasa hari pembalasan, maka bisa jadi yang dimaksud dengan kata Malik dalam surah az-Zukhruf ayat 77 merujuk pada tugas sang malaikat selaku penjaga neraka dan bukan sebagai nama diri dari sang malaikat itu sendiri. Apalagi kita juga bisa menemukan didalam al-Qur'an, penjaga neraka itu bukan hanya satu malaikat saja tetapi disebutkan secara jamak, misalnya:

Dan orang-orang yang dineraka berkata kepada penjaga-penjaga Jahannam : "Mintalah kepada Tuhanmu agar Dia meringankan azab dari kami sehari saja." - Qs. 40 al-Mu'min : 49

Yang untuknya ada sembilan belas penjaga Dan Kami tidak menjadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat ! Dan Kami tidak menjadikan bilangan mereka melainkan sebagai ujian bagi orang yang kafir ! - Qs. 74 al-Muddatsir : 31

Sementara istilah Zabaniah dalam surah al-Alaq ayat 18 memang sebagian besar ditafsirkan sebagai nama diri dari malaikat yang diancamkan Allah bagi mereka yang menghalangi seseorang melakukan Sholat[20], akan tetapi A. Hassan dalam Tafsir al-Furqonnya menterjemahkan istilah Zabaniah pada ayat tersebut sebagai Tentara Tuhan yang gagah[21].

Secara umum, al-Qur'an memberikan informasi kepada kita bahwa para malaikat itu memang memiliki otoritas tertentu yang sudah diberikan oleh Allah terhadap diri manusia. Misalnya ada malaikat-malaikat yang diberi wewenang untuk mencabut nyawa[22], malaikat-malaikat yang merekam atau mencatat semua perbuatan[23], Malaikat-malaikat yang bertugas membantu Nabi dalam peperangan[24] dan ada pula malaikat yang diberi otoritas sebagai pelindung[25] dan sebagainya, akan tetapi sekali lagi, al-Qur'an tidak menjelaskan secara detil mengenai nama-nama dan jumlah mereka keseluruhan kecuali Jibril dan Mikail.

Siapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang-orang yang kafir - Qs. 2 al-Baqarah : 98

Dalam sebuah riwayat Bukhari dari Anas diceritakan bahwa orang Yahudi bernama Abdullah bin Salam telah menganggap Jibril sebagai malaikat perang yang menjadi musuh manusia sementara dalam riwayat lain yang disampaikan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Nasa'i dari Ibnu Abbas diceritakan bahwa orang Yahudi telah membandingkan kehebatan dan kekuasan antara malaikat Mikail dan Jibril[26] lalu ayat diatas turun sebagai teguran bagi mereka.

Mengenai wujud dari malaikat itu sendiri al-Qur'an menjelaskan sebagai berikut :

Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan yang mempunyai sayap, masing-masing dua, tiga dan empat - Qs. 35 Fathir : 1

Wujud malaikat rasanya mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia (dengan unsur dasar tercipta dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk[27]) tidak akan mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya bahkan Nabi Muhammad sendiri disebutkan secara jelas hanya mampu melihat wujud asli dari malaikat Jibril sebanyak dua kali[28]

Kita bisa melihat wujud malaikat hanya apabila malaikat itu sendiri yang merubah wujudnya menjadi sesuatu yang bersifat materi seperti berwujud manusia sebagaimana yang sering terjadi dalam cerita-cerita al-Qur'an[29], untuk memastikan bahwa kita telah melihat malaikat yang sebenarnya didalam mimpi atau melalui ilmu-ilmu ghaib tertentu pun nyaris tidak bisa dijadikan sandaran, sebab ada tertulis didalam al-Kitab bahwa Iblis mampu menyamar menjadi malaikat[30] dan terlepas dari sejauh mana kita meyakini pernyataan tersebut, setidaknya fenomena yang tertulis disana telah benar terjadi dalam kehidupan nyata. Masih ingatkah anda tentang kisah pimpinan Jemaah Salamullah bernama Lia Aminuddin yang mengaku dirinya didatangi oleh malaikat Jibril[31] ?

Konon menurutnya, kedatangan Jibril itu untuk menobatkan dirinya sebagai replika dari Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih yang tidak lain mewujud pada diri anaknya ...

Beriman kepada malaikat

Bismillah..

1. Apakah dalil berkenaan beriman dengan para malaikat daripada al-Quran dan al-Sunnah? Dalil tentang perkara ini daripada al-Quran amat banyak sekali, antaranya ialah :

Firman Allah Ta'ala (al-Syura: 42:5):

"...dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi.."

Firman Allah Ta'ala (al-A'raf : 7:206):

"Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkanNya dan hanya kepadaNyalah mereka bersujud."

Firman Allah Ta'ala (al Baqarah: 2:98)

"Barangsiapa yang menjadi musush Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir."

Dalil tentang perkara ini daripada as Sunnah juga banyak spt hadith Jibril (hadith kedua dlm hadith 40-imam nawawi).

Selain itu, sabda Rasulullah saw yang bermaksud:

"Malaikat dicipta daripada cahaya, jin dicipta daripada api, dan Adam dicipta daripada apa yang telah dijelaskan kepada kamu."

(HR muslim)

2. Apakah maksud beriman dengan para malaikat?

Maksudnya ialah penetapan yang jitu bahwa mereka wujud dan merupakan makhluk-makhluk Allah yang terdidik dan terarah dengan didikan dan arahan Allah.

Firman Allah Ta'ala (al Anbiya': 21:26-27)

"..Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahuluiNya dengan perkataan & mereka mengerjakan perintah-perintahNya"

Firman Allah Ta'ala (al Tahrim: 66:6)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu & keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Firman Allah Ta'ala (al Anbiya': 21:19-20)

"Dan kepunyaanNyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang disisiNya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembahNya dan tiada (pula) mereka letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentiNya"

3. Apakah jenis para malaikat dari sudut tugas-tugas yang Allah berikan kepada mereka? Para malaikat mempunyai pelbagai tugas spt berikut:

1. malaikat yang diwakilkan untuk menyampaikan wahyu kepada para rasul à Jibril as. Antara firman Allah Ta'ala (at Takwiir: 81:19) yang bermaksud; "sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)".

2. malaikat yg diwakilkan untuk menurunkan hujan à Mikail as

3. malaikat yg diwakilkan untuk meniup sangkakala à Israfil as

4. malaikat yg diwakilkan untuk mencabut ruh à malaikat maut dan pembantu-pembantunya

5.malaikat yg diwakilkan untuk mencatat amalan hamba iaitu al Kiram al Katibun (yang mulia dan menulis). Firman Allah Ta'ala (al Infithaar: 82:10-12) yang bermaksud; "Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu)."

6. malaikat yg diwakilkan untuk memelihara hamba dari depan mahupun belakang iaitu al Mu'aqqibat (pemelihara)

7.malaikat yg diwakilkan untuk menjaga syurgadan nikmat-nikmatnya à Ridwan as

8.malaikat yg diwakilkan untuk menjaga neraka dan azab-azabnya à Malik dan al Zabaniyah (menyeksa) yang dikepalai oleh 19 para malaikat

9. malaikat yg diwakilkan untuk persoalan dalam kubur à Munkar & Nakir

10.malaikat yg diwakilkan untuk menjunjung singgahsana

11.malaikat yg diwakilkan untuk menjaga janin dalam rahim, membentuknya dan menulis ketentuannya

12.malaikat yg diwakilkan untuk memasuki al Bait al Ma'mur setiap hari kumpulan baru sebanyak 70 ribu

13.malaikat yg diwakilkan untuk menghadiri majlis-majlis ilmu

14.malaikat yg diwakilkan untuk beribadah dalam saf-saf tanpa jemu

15.malaikat yg diwakilkan untuk beribadah dengan ruku' selama-lamanya

dan banyak lagi malaikat yang tidak dijelaskan kepada kita. Firman Allah Ta'ala (al Muddatthir: 74:31) "Dan tidak ada yang mengetahui tentera Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan *Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia"

* neraka Saqar yang di atasnya ada 19 malaikat penjaga

...boleh rujuk terjemahan al Quran utk melihat dalil-dalil tentang perkara ini daripada al-Quran yg amat banyak sekali jika diteliti, inshaAllah..cume saya tak berkesempatan utk mencatat semuanya di sini..

HAKIKAT " DIRI " MANUSIA YANG SEBENARNYA

Hakikat “Diri “ Manusia

( Ditinjau dari sudut pandang Dunia Barat dan sudut pandang Islam )

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbauran kebudayaan antar bangsa telah mempengaruhi pola pandang atau sudut fikir umat Islam tentang Hakikat manusia itu sendiri. Karena Islam adalah agama yang Universal dan ajarannya dapat diterima pada setiap waktu/decade, sangat memungkinkan terjadinya dualisme pandangan yang prinsipil. Sebagai contoh, apabila kita bertanya pada beberapa orang tentang apa itu jiwa?apa itu Ruh?apa itu nyawa?apa itu nafsu ? apa itu fikiran? Apa itu nafsh ? pasti akan kita dapati banyak jawaban yang berbeda. Sebagai bahan acuan kita coba mengambil beberapa pendapat dari para ahli yang telah mendalami dan meneliti mengenai keterkaitan antara jiwa, ruh dan tubuh kasar/jasad manusia itu.

A.Hakikat Manusia Menurut sudut pandang Negara Barat / Eropah.

Melengkapi pembahasan tentang hakikat manusia yang melandasi lahirnya SQ, maka kita akan mengemukakan pandangan Barat Pramodern dan Modern tentang hakikat manusia. Diawali dari era Pramodern, pemikiran tentang hakikat manusia sangat diwarnai oleh para pemikir Yunani kuno seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Secara umum ketiga filosof besar Yunani meyakini bahwa manusia terdiri dari tiga entitas yaitu corpus (jisim, tubuh), animus (nafs, jiwa), dan spiritus (ruh).

Corpus kemudian ditransliterasikan menjadi corporeal (terkadang corporal) adalah material yang terdiri atas matter (materi mati) serta memiliki dimensi fisik. Ia merupakan satu aspek badaniah dari manusia (body, tubuh) yang berbeda dengan spiritus (spirit atau ruh) dan animus (soul atau nafs, jiwa). [12]

Animus, dari bahasa Yunani anemos artinya sesuatu yang meniup atau sesuatu yang bernafas [13]. Plato berpendapat bahwa animus (nafs, jiwa) adalah penjelmaan wujud spiritual yang bisa mengada secara independen dari materi dan segala sesuatu yang terdefinisikan, dan ia adalah inti kedirian manusia, atau kesadaran yang nyata.

Sedangkan spiritus —yang juga berarti ‘angin’, memiliki kesamaan arti dengan kata ruh yang seakar kata dengan rih (Bahasa Arab) yang artinya juga angin— menunjuk kepada sesuatu yang merupakan nafas kehidupan, kausa hidup yang dipahami sebagai uap halus atau udara yang menghidupkan organisme. Dalam manusia spiritus atau ruh adalah entitas/Zat yang ada dalam jisim dan nafs.

Ketiga filosof tersebut sepakat bahwa hakikat kehidupan manusia ditujukan untuk menemukan eudaimonia —istilah yang dipakai oleh Aristoteles— yang bermakna kesejahteraan spiritual yang vital. Socrates menggunakan istilah daimon untuk hal tersebut yang dirujukkan sebagai suara batin yang digambarkan sebagai ruh yang ada di cuping telinganya. Daimon tersebut yang mengingatkannya tentang kebijakan dan kebajikan, melarangnya dari berbuat jahat. Daimon atau eudaimonia sering digunakan bergantian dengan istilah theo, seorang dewa (malaikat).

Pencarian dan penemuan diri yang sejati, yaitu ketika seseorang dibimbing oleh daimon-nya adalah agar manusia menemukan arete-nya. Arete, dari bahasa Yunani berarti sesuatu yang baik dan unggul, dalam literatur Yunani, bila diterapkan pada seseorang, arete mengungkapkan kualitas-kualitas seperti keberanian, kegagahan, dan kekuatan. Dalam pengertian moral ia berarti keluhuran, kemanfaatan, dan kebaikan dalam memberikan pelayanan dan sering juga diterjemahkan sebagai kebajikan (virtue).

Adapun kebaikan yang didapat dari arete adalah agathon, yang dalam bahasa Yunani berarti baik. Dalam Platonisme, ini adalah sebutan untuk bentuk kebaikan tertinggi, gagasan puncak .

Konsep pencarian dan penemuan diri ini yang oleh Socrates diungkapkan dalam kalimat “Gnothi Se Authon” (Kenali dirimu sendiri). yaitu dapat menguasai diri sendiri, yang dijabarkan sbb:

1. Menguasai tubuh sepenuhnya, yang berarti mampu untuk menguasai perjalanan nafas dan darah, sehingga orang tidak lekas naik darah dan tidak mudah dipermainkan oleh urat syarafnya (nervous) yang besar faedahnya bagi kesehatan badan.

2. Menguasai perasaan, yaitu dapat menahan rasa marah, jengkel, sedih, takut dan sebagainya, sehingga dalam keadaan bagaimanapun juga selalu tenang dan sabar, oleh karena itu lebih mudah untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang setepat-tepatnya.

3. Menguasai pikiran, sehingga pikiran itu dalam waktu-waktu yang terluang tidak bergelandangan semaunya sendiri dengan tidak terarah dan bertujuan, akan tetapi dapat diarahkan untuk memperoleh pengertian dan kesadaran tentang soal-soal hidup yang penting.

B.Hakikat Manusia Menurut sudut pandang Islam.

Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah paling sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lainya, termasuk diantaranya Malaikat, Jin, Iblis, Binatang, dllnya. Tetapi kita sendiri sebagai manusia tidak tahu atau tidak kenal akan “ diri “ kita sendiri. Untuk itu marilah kita pelajari diri kita ini sebagai manusia, Siapa diri kita ini? Dari mana asalnya? Mau kemana nantinya? Dan yang paling penting adalah bagaimana kita menempuh kehidupan didunia ini supaya selamat didunia dan akhirat nanti?

Sebenarnya manusia itu terdiri atas 3 unsur yaitu:

  1. Jasmani.
    Terdiri dari Air, Kapur, Angin, Api dan Tanah.
  2. Ruh. Terbuat dari cahaya (NUR). Fungsinya hanya untuk menghidupkan jasmani saja.
  3. Jiwa. (An Nafsun/rasa dan perasaan).

Ada 7 tingkatan jiwa,( 7 posisi dalam shalat, 7 ayat dalam Surah Al-Fatihah, dan 7 tingkatan pengetahuan, 7 lapis langit dan bumi, yang semuanya berjalin dengan sangat indah )

1. Al-nafs al-ammãrah : (Jiwa yang memerintah.)

Al-Quran menyebut jiwa ini, "... Sungguh, jiwa (manusia) menyuruh berbuat kejahatan ..." (QS Yusuf [12] : 53). Nafs ini ada dalam alam indera dan dikuasai oleh berbagai hasrat dan keinginan dunia rendah. Perjuangan dalam tahap-tahap awal Perjalanan Spiritual adalah melawan al-nafs al-ammãrah. Al-nafs al-ammãrah adalah islam tahap pertama, serupa dengan posisi berdiri (qiyam) dalam shalat. al-nafs al-ammãrah berarti tahapan jiwa melakukan perjalanan menuju Allah.

2.Al-nafs al-lawwãmah ( Jiwa yang mencela.)

Al-Quran menyebut jiwa ini, "Dan Aku bersumpah demi jiwa yang mencela" (QS Al-Qiyamah [75] : 2). Jiwa ini menyadari dan mengetahui berbagai kekurangannya. Perjalanan yang ditempuhnya adalah demi Allah. al-nafs al-lawwãmah adalah anak tangga kedua (iman) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi rukuk dalam shalat. al-nafs al-lawwãmah telah dipasang atas diri kaum sufi agung, untuk menjaga mereka dari sikap membangga-banggakan diri.

3.Al-nafs al-mulhammah :( Jiwa yang terilhami.)

Al-Quran menyebut jiwa ini, "Demi jiwa dan penyempurnaan-nya. Maka Dia mengilhamkan kepada jiwa itu ..." (QS Al-Syams [91] : 7-8). Jiwa ini menjauhkan manusia dari kejahatan dan mampu melihat sarana yang akan mengantarkannya menuju Kebahagiaan. Ia melakukan perjalanan di bawah pengawasan Allah. al-nafs al-mulhammah adalah anak tangga ketiga (ihsan) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi berdiri kedua (itidal) dalam shalat.

4.Al-nafs al-muthmainnah :( Jiwa yang tenang.)

Al-Quran menyebut jiwa ini, "Wahai jiwa yang tenang" (QS Al-Fajr [89] : 27). Jiwa ini tenang karena beristirahat dalam keyakinan terhadap Allah. Ia telah dipadukan kembali dengan Ruh. al-nafs al-muthmainnah melakukan perjalanan bersama Allah. Ia adalah anak tangga ke-empat ("ilm al-yaqin) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan sujud (sajdah) pertama dalam shalat.

5.Al-nafs al-rãdhiyyah :(Jiwa yang ridha.)

Al-Quran menyebut jiwa ini, "Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha ..." (QS Al-Fajr [89] : 28). Jiwa ini ridha dengan dirinya sendiri karena keseimbangan harmonis dari berbagai karakter mulianya. Jiwa ini hilang dalam Allah dan melakukan perjalanannya di dalam Allah. al-nafs al-rãdhiyyah adalah anak tangga ke-lima ("ayn al-yaqin) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi duduk (jalsah) pertama dalam shalat.

6.Al-nafs al-mardhiyyah :(Jiwa yang diridhai Allah.)

Al-Quran menyebut jiwa ini, " ... dan diridhai-Nya" (QS Al-Fajr [89] : 28). Jiwa ini mengalami kebingungan dalam melakukan perjalanan dari Allah. Kebingungan disini adalah keadaan jiwa yang mengalami keadaan yang tidak pernah dialami sebelumnya, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. al-nafs al-mardhiyyah adalah anak tangga ke-enam (haqq al-yaqin) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi sujud (sajdah) kedua dalam shalat.

7.al-nafs al-kãmilah :(Jiwa paripurna.)

Al-Quran menyebut jiwa ini, "Masuklah dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah dalam surgaKu". (QS Al-Fajr [89] : 29-30). Inilah tahap terakhir (ke-tujuh) dalam perkembangan jiwa menuju sang Jiwa (isbath al-yaqin), Inilah tahap Islam hakiki ketika sang hamba terus menerus melakukan perjalanan bersama Allah. al-nafs al-kãmilah serupa dengan posisi duduk (jalsah) kedua dalam shalat. al-nafs al-kãmilah dicapai dengan Rahmat Allah. (lihat al-islam, jalsah, shalah)

o Uraian mengenai tujuh gerakan dalam shalat di atas menunjukkan tujuh tahap perjalanan jiwa manusia dalam mencapai kesempurnaannya. Agar manusia dapat menghambakan dirinya secara benar dan mampu secara sempurna menjalankan perannya sebagai penabur rahmat bagi semesta alam, maka Allah memberikan "kunci" bagi setiap jiwa agar dapat berhubungan dengan-Nya secara benar, sehingga dapat menghantarkannya kepada keselamatan dan ridha Allah. Jika setiap muslim berupaya mengerahkan segala daya dan kemampuannya dalam menghadapkan dan membawa jiwa dan hatinya kepada Allah, sebagaimana dalam makna-makna gerakan shalat di atas, maka ia akan selalu melahirkan perilaku, sikap dan tutur kata yang memancarkan sifat-sifat Kesucian, Keagungan dan Kasih Sayang Allah.... "

Alat dari pada Jiwa yaitu otak, yang terdiri atas 3 bagian juga:

  1. Akal (timbangan) haq atau bathil
  2. Pikir (hitungan) Untung rugi
  3. Zikir (ingatan) Ingat Allah

Jadi kalau diibaratkan mobil maka jasmani ini adalah Body daripada mobil sedangkan Ruh sebagai Accu yang sifatnya hanyalah sebagai yang menghidupkan saja dan Jiwa adalah sopir atau yang mengendalikan dari pada mobilnya dimana dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan dari pada mobil itu sendiri. Jadi Disini jelaslah bahwa yang dikatakan manusia itu adalah Jiwanya dimana dialah yang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Al-Quran sebagai firman Allah SWT, mengemukakan adanya ruh, nafs (jiwa), dan jism (tubuh) dalam diri manusia. “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka bila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Lalu malaikat itu bersujud semuanya.” (QS. 38: 71-73). [7]

Dalam ayat-ayat lainnya berkenaan proses penyempurnaan jisim Al-Quran mengatakan, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) di tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. 23: 12-14).

Dan selain ruh dan jisim, Al-Quran juga mengungkapkan tentang penciptaan nafs (jiwa) sebagai berikut: “. . .dan nafs (jiwa) serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada nafs itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya (zakkaha), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91: 7-10)

Maulana Rumi, dalam Fihi ma Fihi berkaitan dengan masalah ini mengatakan : Nafs adalah satu hal, ruh hal lain. Tidakkah engkau lihat betapa nafs mengembara keluar selama jisim tertidur? Sementara ruh tetap berada di dalam jisim, nafs berkelana dan menjadi sesuatu yang lain.” [8]

Jalaluddin Rahmat, dalam Pengantar Terjemahan buku Perfect Man karya M. Muthahhari, 1993, mengemukakan:

“Seperti alam semesta, manusia selalu berubah. Bahkan, mengikut Ibn Al-’Arabi, manusia adalah mikrokosmos yang menggabungkan semua alam dalam makrokosmos. Manusia adalah ‘alam shaghir/alam kecil; dan alam semesta adalah insan kabir/alam besar. Pada makrokosmos terdapat tiga tingkatan alam: ruhani, khayali, dan jasmani. Pada manusia, ketiga alam ini diwakili oleh ruh, nafs (jiwa), dan jism (tubuh). Tingkatan alam ini menunjukkan sejauh mana ia menyerap cahaya Tuhan.

Ruh adalah bagian yang paling terang, dan jism adalah bagian yang paling gelap. Nafs (jiwa) adalah jembatan yang menghubungkan jism dan ruh. Setiap orang mempunyai nafs yang berbeda. Ada nafs yang lebih dekat dengan ruh; dan ada nafs yang sangat jauh dari ruh. Pada sebagian orang, nafs-nya bersinar dan bergerak naik menuju wujud yang hakiki, yakni Tuhan. Pada sebagian orang lagi, nafs-nya sangat gelap dan bergerak turun menjauhi Tuhan, tertuju 100 % pada ‘dunia ( Harta, Jabatan, Wanita, Egoisme diri ). Nafs adalah barzakh yang selalu berubah.”

Abdurrazzaq Kasyani, seorang pengulas Fushush Al-Hikam yang sangat masyhur, ketika mengomentari QS. 13: 3, menghubungkan bumi dengan jisim, ruh sebagai langit, dan nafs sebagai perantara di antara keduanya.

Dalam diri manusia ketiga dunia tersebut dilengkapi dengan perangkatnya masing-masing. Pada jisim, Allah melengkapinya dengan panca indera lahir (mata, telinga, hidung, kulit, pengecap rasa), juga otak (brain) dan rasa/emosi yang tidak nampak secara lahiriah.

Nafs,—wujud yang hanya dapat dikenali dan disaksikan oleh ‘kemampuan tertentu’ manusia— juga dilengkapi dengan indera-indera batin seperti jisim.

Khusus untuk akal nafs ini Al-Quran menggunakan istilah al-bab (bentuk jamak dari lubb), ulil al-bab, orang yang yang lubb-nya telah aktif. [11]

Mengenai ‘aql (atau lubb) Al-Ghazali menguraikan pengertiannya yang bersekutu, yaitu, pertama, ‘aql yang diartikan sebagai “pengetahuan hakikat” segala sesuatu, dan, tentu saja, bertempat di qalb, dan, kedua, ‘aql dalam arti lathifah yang mampu mencerap hakikat segala sesuatu. Dari uraian mengenai dua hal di atas tampaklah bahwa yang menjadi objeknya adalah hakikat, dan yang dimaksud bukanlah akal empiris (otak), namun akal atas yang disebut ‘aql atau lubb (orang yang memilikinya disebut sebagai ulil ‘albaab). Akal itu seperti bola yang seluruh permukaannya menghadap ke segala arah dan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akal bawah (pikiran, otak dan ego), fu’ad (aspek dari akal atas) dan akal atas

Sejak awal, nafs memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri. Karena itu, aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu terbagi menjadi tiga bagian, di mana frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan proses sang nafs ketika berusaha memahami pengetahuan yang dikandung dalam dirinya. Frasa ‘arafa Rabbahu menunjukkan proses ketika datang pengetahuan dari Tuhan yang melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan) pengetahuan sang diri manusia tentang nafsnya. Sementara kata faqad tidak mesti bermakna serial secara waktu, namun serial secara urutan sebab akibat. Dalam hal ini, Man ‘arafa nafsahu adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu. Tuhan berkepentingan terhadap kebenaran proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra Dia, dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan Dia, maka diri manusia membawa pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat akurasi dan kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam.29

Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (an-nafs), maka dalam proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds ini baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses, yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah. Hadirnya Ruh Al-Quds yang merupakan

“utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di dunia ini (lihat QS Asy-Syuura [42]: 52, langsung dari bahasa Qur`annya yang mana terdapat kalimah ruuh dan ‘amr). Ruh Al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinahdalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) ‘amr.”

Karena itulah kehadiran Ruh Al-Quds sangat terkait dengan amal shalih yang membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya (aradh), maupun membuat tubuh mampu untuk menjalankan amal shalihnya, yaitu sesuai dengan kehendak Tuhan. Ruh Al-Quds ibarat sosok Rasul di suatu kaum, di mana kaum itu adalah diri Al-Mu‘miniin. Ruh Al-Quds berbeda dengan nafakh ruh atau nyawa, karena Ruh Al-Quds bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh. Dia pun bukanlah aradh, sebab urusan (‘amr) Tuhan mustahil berupa tubuh maupun aradh. Ruh Al-Quds ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu yang lembut (tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (nafs) manusia. Karena itu, bila dikaitkan dengan nafs, kehadiran Ruh Al-Quds ini adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman, dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Tuhan, dikarenakan jiwa (an-nafs) hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja. Entitas Ruh Al-Quds ini disebut dengan Ruh ‘Amr dalam terminologi Al-Ghazali, dan disebut sebagai Intelek Aktif dalam terminologi Mulla Shadra.31

Status spirit (ruh) yang samar dalam struktur manusia membawa dampak penyempitan bahkan penyimpangan makna dari arti yang sesungguhnya. Ruh Al-Quds merupakan oknum rahasia (sirr) Ilahi dalam diri manusia, yang tinggal di inti jiwa (nafs, soul ), al-insaanu sirriy wa Anaa sirruhu (Al-Hadits). Daya atau nafas dari Ruh Al-Quds yang berdampak menghidupkan jasad (body) manusia kerap menimbulkan kebingungan dalam mengidentifikasi yang mana jiwa dan yang mana ruh. Istilah nyawa dalam literal masyarakat tidak lain adalah nafas dari sukma (ruh), dan kata arwah (ruh-ruh) sering secara keliru dimaknai sebagai nafs (jiwa) yang akan diadili di alam Barzakh. Ruh Al-Quds adalah ruh al-arwaah, yang nafasnya merupakan al-kimiya (alkemis) yang menghidupkan jasad insan, suatu entitas yang pada prinsipnya sama dengan entitas yang menghidupkan tubuh seekor kambing atau burung tanah Isa Al-Masih a.s. Sementara istilah jiwa sering menyempit maknanya menjadi sekadar gejala-gejala psikis. Struktur Insan seperti diuraikan di atas banyak diungkapkan dalam Al-Quran baik secara eksplisit maupun implisit.

Adapun penjelasan yang dinyatakan dalam bentuk perumpamaan yang ringkas dapat dilihat pada QS An-Nuur [24]: 35:

“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

BERHUBUNGAN DENGAN ALLAH CARA SYARIAT dan HAKIKAT


CARA HAKIKAT:

Selain dari cara syariat dan cara tarikat,terdapat satu lagi untuk merapatkan hubungan antara hamba dan tuhannya iaitu cara jalan hakikat.Cara hakikat merupakan cara yang ketiga iaitu satu cara mendalami ilmu hakikat dengan menyelami dan mengenali diri sendiri, yang merupakan satu-satu jalan yang dilalui oleh Wali - Wali Allah, Ariffinbillah dan Para Aulia.

Mereka yang menjalani pengajian ilmu hakiki ini akan beriktiar dengan tekun dan tabah untuk merapatkan hubungan dengan dirinya dengan Allah S.W.T.,dengan cara membongkar menyeliki dan menyaksikan diri sendiri iaitu diri rahsia yang di tanggung oleh dirinya dan berusaha untuk membentuk dinya menjadi kamil - mukamil.

Bagi mereka yang ingin melalui cara hakiki ini adalah di nasihatkan terlebih dahulu melalui cara Tarukat dan berjaya pula membersihkan dirinya dari dari segala bentuk syirik "saghir", syirik "khafi" dan dan syirik "jalli." Mereka hendaklah menjalani perguruan dengan guru - guru hakiki dan makrifat serta muryid yang mempunyai pengetahuan yang luas serta mencapai pula ke tahap martabatnya.#Untuk pengetahuan lebih jelas silalah bertanya dengan guru - guru, makrifat lagi mursyid.

Orang - orang hakiki yang sampai pada martabatnya bukan saja mulia di sisi Allah malah mendapat pula kemuliannya di tengah masyarakat. Adalah perlu ditegaskan di sini matlamat akhir pengajian HAKIKAT adalah untuk megembalikan diri Asal Mu Mula Allah iaitu pada Zahir dan Batin yakni pada diri zahir dan diri batin pada martabat kemuliaan insan Kamil mukamil. Tiada sesuatu pun pada dirinya kecuali Allah semata - mata. Dan balik mu semula Allah.

Untuk itu pengajian hakikat ini mestilah ada kesinambungan dengan pengajian Makrifat. Sesungguhnya kata hakikat dan makrifat dua perkataan yang tidak boleh di pisahkan.

1.ALAM TUJUH/ LANGIT TUJUH

Dalam memperkatan Alam Tujuh atau LANGIT Tujuh ini, ia tidak lepas dari memperkatakan "Asal Mu Mula Balik Semula Pada Tuhan" Ini di sandarkan firman Nya yang bermaksud ;

"Innalillah Wa inna ilai-i rajiun."

Jatuh hujunnya Asal Mu Allah Balik Mu semula Allah.

Oleh itu disini dua aspek utama diperkatakan;

1.Asal Kejadian Manusia yang dinyatakan melalui penjelasan pada Martabat Tujuh Atau Martabat Alam Insan.
2. Balik Mu semula Allah iaitu memperkatakan persiapan untuk menyarah atau mengembalikan Diri rahsia yang di kandung oleh jasad sebagaimana asalnya suci bersih.

Diri Empunya Diri mentajallikan dirinya dari satu martabat ke satu martabat atau dari satu alam ke satu satu alam.Dalam kita memperkatakan alam atau Martabat Tujuh atau Martabat Alam Insan yang dikenali juga Martabat tujuh, terkandung ia di dalam Surah Al-Ikhlas di dalam Al Quran iaitu dalam menyatakan tentang kewujudan Allah yang menjadi diri rahsia kepada manusia itu sendiri dan memperkatakan pada proses pengujudan Allah untuk diterima oleh manusia sebagai diri rahsianya.

Proses pemindahan atau Tajalli Zat Allah S.W.T bermula dari Alam Qaibbul-Quyyub, terbentuk diri zahir dan diri batin manusia ketika ianya mulai bernafas di dalam kandungan ibu kemudiannya zahir ke dunia iaitu kerana pada martabat Qaibbul-Guyyub adalah merupakan martabat manusia yang paling tingggi, suci dan inilah martabat yang benar-benar di redhai oleh Allah S.W.T.

Diri manusia pada martabat "Insannul-Kamil" adalah sebatang diri yang suci mutlak pada zahir dan batin,tiada cacat celanya dengan Allah S.W.T. iaitu Tuan Empunya Rahsia. Lantaran itu Rasul Allah S.A.W pernah menegaskan dalam sabdanya;

"bahawa kelahiran seseorang kanak-kanak itu dalam keadaan yang suci, tetapi yang mencorakkannya menjadi kotor adalah ibubapanya"

Jadi ibubapalah yang mencorakkan sehingga kanak-kanak kotor termasuk masyarakatnya, bangsanya dan juga negaranya bersekali dengan manusia itu sendiri hanyut mengikut gelombang godaan hidupnya di dunia ini.

Oleh itu adalah menjadi tanggungjawab seorang manusia yang ingin kembali menuju jalan kesucian dan makrifat kepada Tuhannya, selayaknyalah dia mengembalikan dirinya kesuatu tahap yang dikenali "Kamilul-Kamil" atau di namakan tahap Martabat Alam Insan.

Dalam merkatakan tingkatan atau martabat pentajallian Allah Tuan Yang Empunya Diri yang menjadi rahsia manusia ianya melalui tujuh tingkatan.Tingkatan tersebut secara umumnya seperti di bawah.

1.Ahadah -Alam Lahut -Martabat Zat

2.Wahdah-Alam Jabarut - Martabat Sifat

3.Wahdiah-Alam Wahdiah - Martabat Asma

4.Alam Roh-Alam Malakut -Martabat Afaal

5.Alam Misal - Alam Bapa

6.Alam Ijsan- Alam Ibu

7.Alam Insan - Alam Nyata


AL-IKHLAS

1.ALAM / LANGIT TUJUH

1.1 ALAM AHDAH

Pada memperkatakan Alam Qaibull-Quyyub iaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada asma',belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi iaitu pada Martabat LA TAKYIN, Zat UlHaki telas menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallikanNya DiriNya dari satu peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan jasmani.

Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama iaitu{QulhuwallahuAhad), iaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah dinamakan Martabat Zat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Zat Ulhaki)Tuhan RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata iaitu di namakan juga Diri Sendiri. Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya iaitu Wujud Hakiki Lagi Khodim

Pada masa ini tida sifat,tida Asma dan tida Afa'al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dai dalam keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di namakan KUNNAH ZAT.

1.2 ALAM WADAH

Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah mentajallikan diri ke suatu martabat sifat iaitu "La Tak Yin Sani" - sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak iaitu ada permulaannyan.

Martabat ini di namakan martabat noktah mutlak atau dipanggil juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat ini Martabat Wahdah yang terkandung ia pada ayat "Allahus Shomad" iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 bumi.

Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan boleh di umpamakan sepohon pokok besar yang subur yang masih di dalam dalam biji , tetapi ia telah wujud,tdadak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di namakan Sabit Nyata Pertama martabat La Takyin Awwal iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata(wujud pada Allah) tetapi tidak zahir

Maka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras'ma dan di peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata iaitu di dalam keadaan apa yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada peringkat ni sebenarnya pada Hakiki Sifat.(Kesempurnaan Sifat) Zat Al Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Ianya terhimpunan dan tersembunyi di samping telah zahir pada hakikinya.

1.3 ALAM WAHDIAH

Pada peringkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada peringkat "La takyin Awal", maka Empunya Diri kepada Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu martabat As'ma yak ini pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal) iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai - cerai atau di namakan "Hakikat Insan."

Martabat ini terkandung ia didalam "Lam yalidd" iaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin. Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai kerana pada peringkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing - masing tetapi pada masa ini ianya belum zahir lagi di dalam Ilmu Allah Iaitu dalam keadaan "Ainul Sabithaah". Ertinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahsia Allah, belum terzahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi. Dinamakan juga martabat ini wujud Ardhofi dan martabat wujud Am kerana wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan Zat Allah Dan Ilmu Allah.

Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah dalam hakiki dalam batin iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh iaitu pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.

1.4 ALAM ROH

Pada peringkat ke empat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada peringkat ini dinamakan Martabat Roh pada Alam Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan Afa'alnya.Ianya menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tiada cela dan keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah) iaitu Nyata lagi zahir pada hakiki daripada Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia "Jisim Latiff" iaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Ianya tidak akan mengalami cacat cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis,asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan "KholidTullah."

Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Walam Yalidd". Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah dalam Diri Manusia.

1.5 ALAM MISAL

Alam Misal adalah peringkat ke lima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan rahsia diriNya untuk di tanggung oleh manusia. Untuk menyatakan dirinya Allah S.W.T., terus menyatakan diriNya melalui diri rahsiaNya dengan lebih nyata dengan membawa diri rahsiaNya untuk di kandung pula oleh bapa iaitu dinamakan Alam Misal.

Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani iaitu diri rahsia Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan. Alam misal jenis ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan peralihan daripada alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana proses peryataan ini ,pengujudan Allah pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.

Diri rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallikan kepada ubun - ubun bapa, iaitu permidahan dari alam roh ke alam Bapa (misal).

Alam Misal ini terkandung ia di dalam "Walam yakullahu" dalam surah Al-Ikhlas iaitu dalam keadaan tidak boleh di bagaikan. Dan seterusnya menjadi "DI", "Wadi", "Mani" yang kemudiannya di salurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.Maka terbentuklah apa yang di katakan "Maknikam" ketika berlakunya bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapa)

Perlu diingat tubuh rahsia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi zahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.

1.6 ALAM IJSAN

Pada peringkat ke enam, selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapa , maka berpindah pula diri rahsia ini melalui "Mani" Bapa ke dalam Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.

Pada martabat ini dinamakan ia pada martabat "InssanulKamil" iaitu batang diri rahsia Allah telahpun diKamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi "KamilulKamil". Iaitu menjadi satu pada zahirnya kedua-dua badan rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu dan sesungguhnya martabat kanak - kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan "InnsanulKamil". Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Kuffuan" iaitu bersekutu dalam keadaan "KamilulKamil dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.

Selepas cukup tempuhnya dan ketkanya maka diri rahsia Allah yang menjadi "KamilulKamil" itu di lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini sampailah ia Martabat Alam Insan.

1.7 ALAM INSAN

Pada alam ke tujuh iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam "Ahad" iaitu sa (satu). Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan diri rahsia Allah S.W.T. di dalam tubuh badan Insan yang mulai bernafas dan di lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini. Maka pada alam Insan ini dapatlah di katakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah dan pengumpulan seluruh alam-alam yang di tempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martbat ke satu martabat.

Oleh kerana ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini hendaklah bermulah dari alam Maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali asalnya mula kembali mu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah - lengah lagi.

2.TUJUAN MARTABAT ALAM INSAN

1.Ada pun tujuan utama pengkajian dan keyakinan Martabat Alam Insan ini;

2 "bertujuan memahami dan memegang satu keyakinan Mutlak bahawa diri kita ini sebenar - benarnya bukanlah diri kita, tetapi kembalikan semula asalnya Tuhan."

3.Dengan kata lain untuk memperpanjangkan kajian, kita juga dapat mengetahui pada hakikatnya dari mana asal mula diri kita sebenarnya hinggalah kita zahir di alam maya ini.

4.Dalam pada itu dapat pula kita mengetahui pada hakikatnya kemana diri kita harus kembali dan:

5.apakah tujuan sebenar diri kita di zahirkan.

3.Dalam memperkatakan Martabat Alam Insan

Dengan memahami Martabat Alam Insan ini , maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahawa diri kita ini adalah SifatNya Allah Taala semata-mata. Diri sifat yang di tajallikan bagi menyatakan SifatNya Sendiri yakni pada Alam saghir dan Alam Kabir.Dan Allah Taala Memuji DiriNya dengan Asma'Nya Sendiri dan Allah Taala menguji DiriNya Sendiri dengan Afa'alNya Sendiri.

Dalam memeperkatakan Martabat Alam Insan kita memperkatakan diri kita sendiri. Diri kita daripada Sifat Tuhan yang berasal daripada Qaibull-Quyyub (Martabat Ahdah) iaitu pada martabat Zat hinggalah zahir kita bersifat dengan sifat bangsa Muhammad. Oleh yang demikian wujud atau zahirnya kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnyadiri kita ini adalah penyata kepada diri Tuhan semesta alam semata-mata.

Seperti FirmanNya:

'INNALILLA WAINNA ILAII RAJIUN'

Yang bermaksud; "Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali".

Setelah mengetahui dan memahami secara jelas lagi terang bahawa asal kita ini adalah Tuhan pada Martabat ahdah dan NyataNya kita sebagai SifatNya pada Martabat Alam Insan dan pada Alam Insan inilah kita memulakan langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat Sifat kepada Martabat Tuhan kembali iaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Zat.

Sesungguhnya Allah S.W.T diri kita pada Martabat Ahdah menyatakan diriNya dengan SifatNya Sendiri dan memuji SifatNya Sendiri dengan AsmaNya Sendiri serta menguji SifatNya dengan afa'alNya Sendiri. Sesungguhnya tiada sesuatu sebenarnya pada diri kita kecuali diri Sifat Allah,Tuhan semesta semata - mata.

....Sekian peryataan kuliah ini akan di sambung di lain kali. Walikutubkulubbullah <21/08/2004>

4.PROSES MENGEMBALIKAN DIRI

Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahsia kepada Tuan Empunya Rahsia, maka manusia itu semestinya mempertingkatkan kesuciannya sampai ke peringkat asal kejadian rahsia Allah Taala.

Manusia ini sebenarnya mesti menerokai dan melalui daripada Alam Insan pada nafsu amarah ke Martabat Zat iaitu nafsu Kamaliah iaitu makam "Izzatul-Ahdah". Lantaran itulah tugas manusia semestinya mengenal hakikat diri ini lalu balik untuk mengembalikan amanah Allah S.W.T. tersebut sebagaimana mula proses penerimaan amanahnya pada peringkat awalnya.

Sesunggunya Allah dalam mengenalkan diriNya melalui lidah dan hati manusia,maka Dia telah mentajallikan DiriNya menjadi rahsia kepada diri manusia. Sebagaimana diperkatakan dalam hadis Qudsi;

"AL INSANUL SIRRUHU WA ANA SIRRUHU"

Maksudnya; "Manusia itu adalah rahsiaKu dan aku adalah rahsia manusia itu sendiri".


HAKIKAT




ALAM TUJUH / LANGIT TUJUH LAPIS

Mengenai ALAM TUJUH atau LANGIT TUJUH mrupakan suatu Simbol pengujudan diri pada rahsia Allah S.W.t. itu terbahagi ia kepada 7 Alam;

Ke tujuh langit atau alam ini terkandung ia di dalam surah -Al Ikhlas


QulhuwallahuAhad - Ahdah

Allahushomad - Wahdah

Lamyalidd - Wahdiah

Walamyuladd - Alam Roh (Alam Malakut)

Walamyakullahu - Alam Misal (Alam Bapa)

Kuffuan - Alam Ijsan

Ahad> - Alam Insan

Seperti FirmanNya lagi dalam Al- Quran



[33] Setelah diketahui demikian maka tidaklah patut disamakan Allah Tuhan yang berkuasa mengawas tiap-tiap diri dan mengetahui akan apa yang telah diusahakan oleh diri-diri itu, (dengan makhluk yang tidak bersifat demikian). Dalam pada itu, mereka yang kafir telah menjadikan beberapa makhluk sebagai sekutu bagi Allah. Katakanlah (wahai Muhammad): Namakanlah kamu akan mereka (yang kamu sembah itu). Atau adakah kamu hendak memberi tahu kepada Allah akan apa yang tidak diketahuiNya di bumi? Atau adakah kamu menamakannya dengan kata-kata yang lahir (sedang pada hakikatnya tidak demikian)? Bahkan sebenarnya telah diperhiaskan oleh Iblis bagi orang-orang yang kafir itu akan kekufuran dan tipu daya mereka (terhadap Islam) dan mereka pula disekat oleh hawa nafsu mereka daripada menurut jalan yang benar dan (ingatlah) sesiapa yang disesatkan oleh Allah (dengan pilihannya yang salah) maka tidak ada sesiapapun yang dapat memberi hidayat petunjuk kepadanya.


Surah Al-A'Rad Ayat:33

NUR, MATA HATI DAN HATI

NUR-NUR ILAHI ADALAH KENDERAAN HATI DAN RAHSIA HATI. NUR ITU IALAH TENTERA HATI, SEBAGAIMANA KEGELAPAN ADALAH TENTERA NAFSU. JIKA ALLAH S.W.T MAHU MENOLONG HAMBA-NYA MAKA DIBANTU DENGAN TENTERA ANWAR (NUR-NUR) DAN DIHENTIKAN BEKALAN KEGELAPAN. NUR ITU BAGINYA MENERANGI (MEMBUKA TUTUPAN), MATA HATI ITU BAGINYA MENGHAKIMKAN DAN HATI ITU BAGINYA MENGHADAP ATAU MEMBELAKANG.

Allah s.w.t hanya boleh dikenal jika Dia sendiri mahu Dia dikenali. Jika Dia mahu memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati hamba itu akan dipersiapkan dengan mengurniakannya warid. Hati hamba diterangi dengan Nur-Nya. Tidak mungkin mencapai Allah s.w.t tanpa dorongan yang kuat dari Nur-Nya. Nur-Nya adalah kenderaan bagi hati untuk sampai ke Hadrat-Nya. Hati adalah umpama badan dan roh adalah nyawanya. Roh pula berkait dengan Allah s.w.t dan perkaitan itu dinamakan as-Sir (Rahsia). Roh menjadi nyawa kepada hati dan Sir menjadi nyawa kepada roh. Boleh juga dikatakan bahawa hakikat kepada hati adalah roh dan hakikat kepada roh adalah Sir. Sir atau Rahsia yang sampai kepada Allah s.w.t dan Sir yang masuk ke Hadrat-Nya. Sir yang mengenal Allah s.w.t. Sir adalah hakikat kepada sekalian yang maujud.

Nur Ilahi menerangi hati, roh dan Sir. Nur Ilahi membuka bidang hakikat-hakikat. Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap rahsia hakikat-hakikat. Nur Ilahi yang berperanan menyingkap tabir hakikat. Orang yang mengambil hakikat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain, bukanlah hakikat sebenar yang ditemuinya, tetapi hanyalah sangkaan dan khayalan semata-mata. Jika mahu mencapai hakikat perlulah mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti sambil terus juga berwirid. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki warid akan didatangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu. Itulah kejayaan yang besar boleh dicapai oleh seseorang hamba semasa hidupnya di dunia ini.


Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang kerana ada kenyataan Allah s.w.t padanya. Misalkan kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gelita. Apa yang dapat dilihat hanyalah kegelapan. Apabila hari siang, matahari menyinarkan sinarnya, kelihatanlah tumbuh-tumbuhan dan haiwan yang menghuni bukit itu. Kewujudan di atas bukit itu menjadi nyata kerana diterangi oleh cahaya matahari. Cahaya menzahirkan kewujudan dan gelap pula membungkusnya. Jika kegelapan hanya sedikit maka kewujudan kelihatan samar. Sekiranya kegelapan itu tebal maka kewujudan tidak kelihatan lagi. Hanya cahaya yang dapat menzahirkan kewujudan, kerana cahaya dapat menghalau kegelapan. Jika cahaya matahari dapat menghalau kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur Ilahi pula dapat menghalau kegelapan yang menutup hakikat-hakikat yang ghaib. Mata di kepala melihat benda-benda alam dan mata hati melihat kepada hakikat-hakikat. Banyaknya benda alam yang dilihat oleh mata kerana banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari, sedangkan cahaya hanya satu jenis sahaja dan datangnya dari matahari yang satu jua. Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakikat kerana banyaknya cermin hakikat yang membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari nur yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.

Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang bagi melihat kebenaran yang sememangnya tersedia ada, bukan mencari kebenaran baharu. Cahayalah yang menerangi atau membuka tutupan hati. Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta membawanya menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli. Apabila Nur Ilahi sudah membuka tutupan dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu laduni atau ilmu yang diterima dari Allah s.w.t secara langsung. Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada kekuatan hati menerima cahaya Nur.

Ilahi.

Murid yang masih pada peringkat permulaan hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang. Oleh itu ilmu laduni yang diperolehinya masih belum mencapai peringkat yang halus-halus. Pada tahap ini hati boleh mengalami kekeliruan. Kadang-kadang hati menghadap kepada yang kurang benar dengan membelakangkan yang lebih benar. Orang yang pada peringkat ini perlu mendapatkan penjelasan daripada ahli makrifat yang lebih arif. Apabila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu hatinya menghadap kepada yang lebih benar, sehinggalah dia menemui kebenaran hakiki.

<>

TERBUKA MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN HAMPIRNYA ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN KETIADAAN KAMU DI SAMPING WUJUD ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN HAKIKI MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU HANYA ALLAH YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT LAGI KETIADAAN KAMU DAN WUJUD KAMU.

Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyedari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesedaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa hampirnya Allah s.w.t dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahawa Allah s.w.t sentiasa mengawasinya. Allah s.w.t melihat segala gerak-gerinya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan berwaspada.


Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah:
1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.


2: Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.


3: Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.


4: Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah s.w.t.


5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah s.w.t dan merendah diri kepada-Nya.

Orang Mukmin yang taat kepada Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid iaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah s.w.t. Dia tidak lagi khuatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan reda terhadap apa jua yang ditentukan Allah s.w.t untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama iaitu takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya. Apa yang Allah s.w.t takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini sentiasa di dalam penjagaan Allah s.w.t kerana dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t. Allah s.w.t kurniakan kepadanya keupayaan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi kesan kepada hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah s.w.t. Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati.. Dia berasa benar-benar akan keesaan Allah s.w.t bukan sekadar mempercayainya.

Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah s.w.t dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah s.w.t, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam berkeadaan demikian dia tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah s.w.t. Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Kelakuannya boleh menyebabkan orang ramai menyangka dia sudah gila. Orang yang mencapai peringkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahawa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah s.w.t dan segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t.

Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa hampirnya Allah s.w.t. Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Keupayaan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan pengenalan atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperolehi keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tahap ainul yaqin makrifatnya ghaib dan dia juga ghaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesedaran terhadap sesuatu perkara.. Beginilah hukum makrifat yang berlaku.


Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh iaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, penyaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat kerana penyaksian itu adalah hasil dari kemahuan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman. Penyaksian(shahadul Haq) adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi ialah penyaksian hakiki oleh mata hati atau penyaksian yang haq. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tahap penyaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat kepada ketiadaan dirinya atau kewujudan dirinya, tetapi Allah s.w.t dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tiada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia.

Dia berfirman:

"Dan Ia (Allah) tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada."
( Ayat 4 : Surah al-Hadiid)

Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki ialah melihat Allah s.w.t dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah s.w.t. Inilah makam keteguhan yang dipenuhi oleh ketenangan serta kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh. Pada penyaksian yang hakiki tiada lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesedaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah s.w.t dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahawa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu pengenalan untuk dipamerkan.

Orang yang memperolehi haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah s.w.t pada setiap ketika, setiap ruang dan setiap keadaan. Dia kembali kepada kehidupan seperti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya sentiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah s.w.t dilihat dalam dua perkara yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah s.w.t pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah s.w.t yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tiada lagi perkaitannya dengan kewujudan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah s.w.t meliputi segala sesuatu.